Oleh :
Ketua Dewan Pers Indonesia
Heintje G. Mandagie
Rasa malu, marah dan geram tak terlukiskan ketika penulis menerima laporan dari seorang Pemimpin Redaksi di Gorontalo yang merasa terusik oleh surat Dewan Pers Nomor : 346/DP-K/V/2021 perihal Pemuatan Hak Jawab.
Surat Dewan Pers tersebut terkesan memaksanya memenuhi hak jawab dari pihak pengadu Haris Suparto Tome, Kepala Dinas Komunikasi dan Informasi Kabupaten Gorontalo yang sebelumnya diberitakan tertangkap basah sedang berduaan di sebuah kamar kos bersama dengan isteri orang oleh aparat kepolisian pada sebuah penggrebekan operasi justitia.
Tak tangung-tanggung, Dewan Pers memberi ancaman kepada Pemimpin Redaksi media siber Butota.id menggunakan pasal dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers agar yang bersangkutan wajib melayani hak jawab agar tidak terkena pidana denda paling banyak 500 juta rupiah.
Kejadian ini bak mimpi di siang bolong ketika insan pers tanah air sedang asik memperingati World Press Freedom Day atau Hari Kebebasan Pers Sedunia.
Sayangnya, Dewan Pers justeru sibuk melayangkan surat berbau ancaman dan pemaksaan terhadap media.
Rasa malu yang dirasakan penulis adalah ketika terduga pelaku mesum berhasil mengobok-obok kehidupan pers nasional dan sukses memperalat Dewan Pers agar kasus yang menjeratnya semakin kabur.
Beberapa media berhasil dipaksa membuat hak jawab dan menulis permintaan maaf secara terbuka di media masing-masing karena takut diancam Dewan Pers.
Media yang merasa tidak melanggar kode etik dan tidak mau menuruti kemauan pengadu dan Dewan Pers pun diancam dengan surat dari Dewan Pers.
Bagaimana mungkin peristiwa penegakan hukum yang dilakukan aparat Kepolisian di Kabupaten Gorontalo atas laporan warga yang menduga isterinya ditiduri oleh oknum Kepala Dinas Kominfo Kabupaten Gorontalo bernama Haris Suparto Tome (pengadu) di sebuah kamar kos, lantas diberitakan oleh berbagai media di Gorontalo, kini menjadi bahan aduan oleh pelaku ke Dewan Pers.
Situasi yang lazim terjadi dalam sebuah operasi penegakan hukum di Kepolisian begitu sering diliput wartawan dari berbagai jenis media. Bahkan beberapa televisi swasta menjadikan itu (operasi penggrebekan polisi) sebagai satu program khusus.
Tayangan yang menampilkan proses penegakan hukum seperti penggerebekan pelaku mesum di kamar hotel, penggerebekan pelaku kejahatan premanisme, pegedar narkoba, dan prostitusi menjadi tontonan menarik bagi masyarakat untuk menyaksikan kinerja kepolisian terhadap penegakan hukum di negeri ini.
Tidak pernah ada pelaku kejahatan yang ditangkap basah polisi sedang berduaan di kamar hotel lalu meminta hak jawab kepada media.
Rata-rata pelaku yang digrebek di kamar hotel malu dan menutupi wajah saat dikejar wartawan.
Nyaris tidak ada yang mau diwawancarai wartawan, termasuk kejadian yang dialami pengadu Haris Suparto Tome saat ditangkap polisi sedang berduaan dengan isteri orang di dalam sebuah kamar, menolak diwawancarai saat dikejar wartawan.
Anehnya, kejadian yang diberitakan media itu, dianggap Dewan Pers melanggar kode etik jurnalistik dan tidak memenuhi hak jawab serta mencemarkan nama baik sang pelaku atau pengadu yakni Kepala Dinas Kominfo Kabupaten Gorontalo Haris Suparto Tome.
Jika penalaran dan pemahaman Dewan Pers seperti itu, maka semua media yang biasa meliput penggrebekan polisi atau operasi penegakan hukum aparat polisi akan dianggap melanggar kode etik jurnalistik.
Bagaimana mungkin fakta kejadian yang diberitakan secara jujur dan benar itu dikategorikan melanggar kode etik jurnalistik dan tidak memenuhi hak jawab oleh penilaian Dewan Pers.
Bagi penulis, hal itu tidak masuk logika akal sehat.
Beginilah jadinya kalau Dewan Pers dipimpin oleh orang yang tidak memiliki latar belakang pengalaman di bidang wartawan.
Bagaimana mungkin sebuah peristiwa penegakan hukum yang lazim diliput oleh media, kemudian pelakunya seorang pejabat kepala dinas ditangkap polisi, namun Dewan Pers mengenyampingkan fungsi sosial kontrol pers.
Dari sisi moral dan etika menjadi pejabat, itu sudah dilanggar oleh pengadu ketika ditangkap polisi sedang berduaan dengan isteri orang.
Bahkan suami dari pelaku yang ditangkap bersama pengadu juga berharap pengadu Haris Suparto Tome dihukum sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
Sepertinya seluruh anggota Dewan Pers perlu belajar lagi Undang-Undang Pers khususnya pasal 6 tentang peran pers nasional.
Sangat jelas disebutkan, Pers nasional salah satunya berperan mendorong terwujudnya supremasi hukum, melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, dan memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Bahkan untuk menjalankan peran ini, Undang-Undang Pers menyebutkan, kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum.
Jadi, jika semua pelaku kejahatan yang ditangkap polisi lalu mengadu ke Dewan Pers karena merasa dicemarkan nama baiknya, lalu siapa yang bertugas melakukan pegawasan dan mendorong terwujudnya supremasi hukum?
Saya ingin menanyakan hal ini kepada seluruh anggota Dewan Pers secara terbuka dan kepada seluruh pimpinan organisasi pers konstituen Dewan Pers.
Apakah layak seorang pejabat Kepala Dinas Kominfo yang tertangkap basah berduaan di dalam kamar bersama isteri orang dan ditangkap polisi, melayangkan aduan tanpa harus menunggu proses di kepolisian dinyatakan selesai dan berkekuatan hukum tetap?
Apakah fakta hukum pengadu yang ditangkap polisi dan menjadi terlapor sebagai pelaku dugaan kejahatan moral bersama isteri orang harus dikesampingkan oleh Dewan Pers?
Bagaimana dengan penegakan disiplin Aparatur Sipil Negara yang dilanggar oleh pengadu selaku pejabat level kepal dinas dan menjabat Ketua Forum Kepala Dinas Kominfo se Indonesia?

Jika hal ini tidak bisa dijawab oleh Dewan Pers dan kroni-kroninya, maka penulis khawatir kejadian yang dialami wartawan senior Torazidu Lahia di Riau bakal terulang lagi.