Penguasaan Sumber Agraria Oleh Terduga Kelompok Mafia Tanah, Harus Dihapuskan
SATYA BHAKTI ONLINE | TANJUNG MORAWA (DELI SERDANG) –
Penguasaan sumber-sumber agraria oleh oknum segelintir kelompok yang diduga mafia tanah, haruslah dihapuskan, karena tidak sesuai dengan nilai- nilai keadilan sosial.
Demikian terungkap dalam obrolan Jurnalis Satya Bhakti Online bersama seorang aktivis 98 Sumatera Utara (Sumut) terkait tanah dan permasalahannya, baru-baru ini di Tanjung Morawa, Deli Serdang.
Menurut seorang aktivis 98 Sumut yang mengaku bernama Nugroho Wicaksono itu, Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa sumber- sumber agraria yang melimpah dimulai dari tanah, laut dan hutan yang luas, kaya, subur dan di dalamnya terkandung kekayaan berupa minyak bumi, gas alam, dan bahan tambang lainnya.
“Sumber-sumber agraria yang kaya raya tersebut haruslah diabdikan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat yang kesemuanya itu merupakan roh dan identitas kebangsaan yang secara turun-temurun telah diyakini oleh rakyat Indonesia,” tutur Nugroho Wicaksono yang juga pernah menjabat Ketua Ketua Relawan Jokowi-Ma’ruf Amin (Jamin) Deli Serdang itu.
Karena itu, tegas Nugroho, penguasaan sumber-sumber agraria oleh terduga oknum segelintir kelompok mafia tanah yang hari ini masih terjadi itu, haruslah dihapuskan, karena tidak sesuai dengan nilai- nilai keadilan sosial.
“Bahwa sesungguhnya ketimpangan penguasaan sumber-sumber agraria yang terjadi hari ini di Indonesia disebabkan oleh peninggalan persekongkolan sistem feodalisme dan kolonialisme yang telah mengakar ratusan tahun di Indonesia,” tutur Nugroho.
Selain itu, aktivis 98 Sumut itu menambahkan, Revolusi Kemerdekaan Nasional 1945 sesungguhnya merupakan tonggak untuk menghancurkan kekuatan sistem feodalisme dan kolonialisme tersebut.
Lahirnya UUPA tahun 1960, ungkap Nugroho, adalah kelanjutan dari Revolusi Nasional untuk mewujudkan cita-cita anti-feodalisme dan kolonialisme tersebut.
Namun, ungkap aktivis 98 Sumut itu lagi, cita-cita perjuangan Revolusi Kemerdekaan Nasional 1945 tersebut, telah dikhianati oleh kekuatan- kekuatan yang menentang lahirnya keadilan agraria di Indonesia.
“Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 yang memiliki karakter anti-imperialisme dan antifeodalisme itu, seharusnya dapat dijadikan tonggak untuk mendorong lahirnya keadilan agraria dan seterusnya di Indonesia, karena keadilan agraria merupakan kunci dari upaya pencapaian kemakmuran dan kemandirian ekonomi rakyat Indonesia,” tegas Nugroho
Namun sayangnya, tegas Nugroho, lagi-lagi pengkhianatan terhadap UUPA 1960 dilakukan oleh rezim yang berkuasa, dengan membiarkan penguasaan sumber-sumber agraria oleh Tuan-tuan Feodal, dan menyerahkan sumber-sumber agraria kepada kekuatan imperialisme.
“Ketimpangan penguasaan sumber-sumber agraria oleh kekuatan feodalisme dan imperialisme, dan pengkhianatan aparat negara terhadap pembaruan agraria, telah melahirkan semangat perlawanan rakyat,” tutur Nigroho.
Sebuah semangat perlawanan yang didasarkan kemenangan pembaruan agraria sesungguhnya, tegas mantan Ketua Relawan Jamin Kabupaten Deli Serdang itu, bersandar pada inisiatif dan kekuatan rakyat.
“Sejarah dan semangat perlawanan tersebut telah mengilhami lahirnya KRPP, sebagai bagian dari front perjuangan untuk mewujudkan keadilan agraria, sekaligus memutus rantai praktik feodalisme, kapitalisme dan imperialisme,” tegas Nugroho.
Menurut Nugroho, sebuah perjuangan yang dilandaskan pada garis perjuangan rakyat yang artinya, hanya dengan kekuatan massa rakyatlah pembaruan agraria dapat terwujud.
Adapun tujuan pembaruan agraria yang dimaksud, Nugroho menuturkan,
- Mewujudkan keadilan dalam penguasaan, kepemilikan dan pengelolaan sumber- sumber agraria, baik dengan cara redistribusi kepada buruh tani, tani miskin, buruh nelayan, dan nelayan miskin, serta masyarakat miskin kota, ataupun pengakuan atas sumber-sumber agraria kepada masyarakat adat ;
- Peningkatan produksi pertanian ;
- Jaminan pasar yang berkeadilan; dan hanya dengan dijalankan pembaruan agraria sejati, akan tercipta tatanan masyarakat yang lepas dari segala bentuk penindasan dan penghisapan.
Untuk diketahui, permasalahan lahan eks HGU PTPN 2 Tanjung Morawa di Desa Dagang yang hingga kini bagaikan api dalam sekam” itu, kembali terbakar.
Saat itu, Senin 3 April 2023 lalu, bagaikan membangun penjara yang tanpa memperdulikan keberadaan bangunan serta warga yang bermatapencaharian dan bertempat tinggal didalamnya, sekelompok orang yang diduga orang suruhan membangun pagar tembok diatas lahan eks HGU PTPN 2 Desa Dagang Kerawan, tepatnya di Jalan Bandar Labuhan, Desa Dagang Kerawan, Kecamatan Tanjung Morawa, Deli Serdang, Sumut.
Akibatnya, kericuhan dan adu fisik nyaris terjadi karena kearogansian sekelompok orang bayaran itu yang mengintimidasi sekelompok warga yang mempertahankan haknya atas lahan eks HGU PTPN 2 Desa Dagang Kerawan itu.
Untungnya, adu fisik tersebut dapat dihindari.
Belum hilang dalam ingatan kita, dampak atas kasus jual-beli lahan eks HGU PTPN II Tanjung Morawa Desa Dagang Kerawan, beberapa oknum pejabat Direksi PTPN II Tamora seperti Ir Suwandi yang saat itu menjabat Dirut PTPN II Tamora bersama seorang pemilik Yayasan Pendidikan yakni DR RM HM Supriyanto alias Anto Keling ditangkap dan dipenjarakan oleh aparat kepolisian dari Polda Sumut serta diperkarakan dalam peradilan pidana karena dituduh bersekongkol untuk menguasai dan memiliki lahan eks HGU tersebut sehingga negara mengalami kerugian.
Saat itu, pemikiran aparat Polda Sumut menilai persekongkolan antara para oknum untuk menguasasi dan memiliki lahan tersebut merupakan tindak pidana.
Ironisnya, pemikiran aparat Polda Sumut justru berbeda dengan pemikiran aparat dijajarannya yakni Polres Deli Serdang dan Polsek Tamora.
Buktinya, dengan pemikiran dan menganggap akte jual beli merupakan alas hak kepemilikan atas lahan, aparat Polres Deli Serdang dan Polsek Tamora selalu dengan sigap menerima dan memproses laporan pengaduan yang dilakukan Anto Keling dengan tuduhan menguasai lahan tanpa hak terhadap masyarakat.
Padahal, yang dinamakan alas hak kepemilikan atas lahan dituang dalam bentuk sertifikat hak milik yang diterbitkan oleh negara melalui Badan Pertanahan Negara (BPN).
Ironisnya, apabila masyarakat yang dalam hal ini juga mempunyai alas hak kepmilikan atas lahan eks HGU tersebut, saat itu, aparat Polres Deli Serdang dan Polsek Tamora selalu berdalih untuk menolak laporan pengaduan yang dilakukan masyarakat.
Padahal, atas lahan eks HGU PTPN II Tamora tersebut, masyarakat mempunyai alas hak kepemilikan berupa KRPT/KPPT yang dalam hal dilindungi undang-undang.
Atas dasar itu, saat itu diduga telah “sepakat” dengan para oknum yang dinilai sekelompok mafia tanah.
Saat itu, aparat Polres Deli Serdang dan Polsek Tamora dinilai sudah tidak lagi bersikap sesuai dengan mottonya yakni melindungi dan menganyomi masyarakat.
Dengan dasar laporan pengaduan yang dilakukan Anto Keling yang mengaku memiliki lahan dengan alas hak akte notaris tersebut, beberapa masyarakat menjadi korban dengan dipanggil dan diperiksa sebagai saksi oleh kedua aparat kepolisian tersebut melalui juru periksa (juper).
Karena itu, timbul pertanyaan, “apakah dalam penyelesaian perkara yang dilakukan kedua jajaran aparat Polda Sumut yang dinilai memakai “kaca mata kuda” tersebut telah mencapai keadilan?”
Berdasarkan hal tersebut diatas, proses hukum pidana yang diterapkan oleh kedua aparat jajaran Polda Sumut tersebut dinilai lebih menampakkan bahwa hukum pidana tersebut sebagai alat untuk menumpas anggota masyarakat yang dipandang mengancam kepentingan kekuasaan atau para oknum yang dalam hal ini diduga sekelompok mafia tanah.
Untuk menghindari “kesesatan” dalam penerapan hukum pidana, maka perlu adanya perubahan paradigma dalam cara berhukum agar tidak terjebak dalam arus positivisme yang semakin tidak mampu dijadikan pijakan dalam mewujudkan keadilan yang substansial.
Kini, merupakan sambungan cerita dampak atas kasus jual-beli lahan eks HGU PTPN II Tanjung Morawa Desa Dagang Kerawan itu diketahui pemerintah melalaui instansi terkait telah menerbitkan Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) diatas lahan bermasalah yakni lahan eks HGU PTPN II Desa Dagang Kerawan Tanjung Morawa kepada pengusaha property yang diketahui bernama PT Morawa Indah Propertindo (MIP) yang berkantor di Medan, di Kompleks MMTC, Jalan Williem Iskandar, Blok A No.36 – Medan Estate.
Atas penerbitan Sertifikat HGB yang diduga dilakukan dengan cara ala mafia itu, PT MIP mengurung rumah-rumah warga dan pedagang yang cari nafkah dengan mendirikan pagar tembok diatas lahan eks HGU PTPN II Desa Dagang Kerawan Tanjung Morawa yang hingga kini masih bermasalah itu.
Dalam hal ini, banyak pihak termasuk Nugroho Wicaksono yang diketahui sebagai Ketua Relawan Jokowi-Ma’ruf Amin (Jamin) Deli Serdang itu menilai, pengurungan rumah-rumah warga dan pedagang yang cari nafkah dengan mendirikan pagar tembok diatas lahan eks HGU PTPN II Desa Dagang Kerawan Tanjung Morawa yang dilakukan pihak PT MIP itu merupakan tindakan yang sangat tidak manusiawi.
Buktinya, pengusaha (PT MIP, red) yang dibantu preman beringas tidak mengindahkan Hak Azasi Manusia (HAM) dan menyelesaikan pembentengan dalam beberapa hari. (Bersambung)
Penulis : Antonius Sitanggang
Editor/Publish : Antonius Sitanggang
Renungan :
Segala sesuatu memiliki kesudahan, yang sudah berakhir biarlah berlalu dan yakinlah semua akan baik-baik saja.”